So.rai

 'Kalo pekik suaraku menggema dalam tidurmu,

Seharusnya kau tau, betapa aku sangat menyukaimu.'

- Dirga -


Langitnya sedang temaram. Menuju peralihan senja ke petang. Matahari bahkan enggan berpendar, atau bulan yang sudah tak sabar. Menempati singgasana sang langit. Langit kini kian menghitam, menyulap rona sang surya menjadi gemerlap sunyi ditemani taburan bintang yang tersebar sana sini.


Wah, rona sang surya termakan gulita. Untuk kesekian kalinya,

Apa ia tidak belajar dari hari kemarin. Kenapa harus tertangkap gelap lagi?




(Sore, 12/01/19. Di hati dirga hihi)


"Dirga, Kamu tau nggak, kalo aku lebih suka langit malam dari pada siang."

"Kenapa?"

"Langit malam hanya satu warna. Hanya hitam yang berkuasa."

"Kalo siang?"

"Kalo siang si putih harus berbagi dengan biru muda. Berbagi itu gak enak kan Dirga. Aku mau utuh. Aku mau kendali penuh."



14/01/19; di rumah duka.


"Dirga, aku minta maaf. Sumpah aku gak maksud ngelakuin itu. Temen-temen pada gak mau ambil peran. Jadi mau gak mau aku yang....

PLAKK


Hangat menjalar di pipi. Tangan Dirga begitu lihai dalam memulas luka disetiap bagian diri. Hari ini pipi kiri. Mungkin besok kaki atau lengan atau punggung. Dan atau atau yang lain,


"Dirga, ampun. Aku janji setelah projek ini selesai aku gak bakal ambil lagi. Nanti aku bakal bilang Nita. Aku janji dir"

"Halah mulut lu gak bisa dipercaya. Bukannya dulu lu bilang mau keluar dari teater? Kenapa malah nemplok sana sini!!"

"Itu cuma akting dir, cuma peran. Memang peranku disan...

"Gua gak mau tau. Gak butuh bacotan lu juga. Yang jelas lu salah. Lu pantes dihukum"


Benar, ini hanya perkara pekan seni dan pentas teater. Hanya karena tema Romeo dan Juliet. Tapi Dirga tetaplah Dirga. Hukum dan kendali penuh ada ditangannya. Lalu Mentari,? Bagaimana nasibnya?



(Pagi, 26/03/19)


Dirga dan kopi itu bagai minyak dan air. Berkebalikan, tak mau menyatu. Padahal dirga dan kopi untuk Mentari itu satu. Karena, seperti kopi yang ketika diteguk menghilangkan kantuk. Namun kebas di lidah saat diminum terburu, 

Lalu Dirga itu, manusia tak banyak bicara, tidak berisik namun asik. Benar, Dirga tak banyak bicara, karena bila Dirga bicara, lengannya tak berhenti mengayunkan luka.


"Kamu kenapa bengong? Ih pagi pagi udah buat kecap", ujar Dirga.

"Ini kopi Dirgantara. Ih coba deh, sumpah enak. Mana ada jantan gak doyan kopi."

"Ada, ini aku buktinya"

"Cemen huu."

 Aku tersenyum, seperti pagi biasanya. Lagi-lagi aku menginap di rumah Dirga. Rumah ini terlalu megah, terlalu gegap gempita jika hanya Dirga yang mengisi nya. Kurang lebih 3 tahun lalu, rumah yang didominasi warna putih ini ditinggal penghuninya. Ditinggal sukacita. Hanya suram yang tersisa. Hanya suram dan Dirga.


 Kata Dirga di awal kami bertemu, dia lahir dari batu. Awalnya aku sanksi, ingin kugetok kepala Dirga pakai gantungan kunci gambar kelinci milikku. Namun Dirga kembali bersuara.


 "Mama pergi ninggalin ayah sama aku demi laki-laki itu. Memang dia anak remaja yang dengan mudahnya CLBK dengan mantannya? Dia udah tua Tar, dia harusnya tau. Gimana hancurnya aku dan Ayah. Ayah bahkan gak pernah pulang ke sini. Cuma aku, mereka semua egois dengan hatinya masing-masing. Mereka lupa kalo ada Dirga."

 

Saat itu hatiku menghangat, membawa dirga dalam dekap sempit yang ku punya. Bingung ingin menanggapi apa. Karena selama beberapa bulan kenal Dirga, baru kali ini dia bicara, dengan durasi lebih lama, temponya menggebu, dengan mata yang berkaca-kaca.


(12/04/19)


"Hari ini, ada kelas jam berapa?"

"..."

"Nanti balik ke rumahku ya. Aku ada film baru"

"..."

"Kamu dengerin aku nggak?! "

Seketika aku terkesiap, tadi Dirga ngomong apa. Duh Tari, kamu cari penyakit. 


"Denger kok, iya."

"Iya apa? Apanya yang iya?"

"Iya nanti gofood aja. Aku lagi pengen mekdi"


Yes, Dirga senyum. Bener dong berarti tebakan aku. Haduh beruntung banget hari ini. Duh pake dielus elus lagi kepala, jadi ba..


"Aduh Dirga sakit, kok kamu jambak aku. Aku salah apa?"

"Salah apa? Kamu bilang SALAH APA?! Lo gua ngomong aja pura-pura budek. Pakek bohong lagi. Lagi liat apa lu, chatan sama siapaa HAH?!"

"Dir, ini cuma grup kelas. Aduh Dir sakit, rambut aku bisa rontok kalo kamu giniin. Dir,"

Seketika handphone ku direbut Dirga. Itu handphone baru, jangan lagi. Jangan sampai dibanting lagi.

"Gak ada apa apanya Dir, kayak yang kamu bilang aku gak simpen atau chat chat an sama cowok lain kok."

"Gak usah bohong. Kalo kamu berani selingkuh atau nyeleweng. Gak bakal aku maafin kamu."


(06/05/19) pukul 2 lima belas menit, pagi.


"Tar, kamu janji kan gak bakal ninggalin aku?"

"Kamu ngomong apa sih? Enggak lah."

"Kata temenku dia lihat kamu tadi sama cowok."

"(DEG) hah kapan Dir?"

"Tadi pas kamu di perpus."

"Oh itu, anu dia sepupunya Nita."

"Oh, sepupu."

Aku diam, menunggu Dirga. Apa dirga akan memukulku? Apa kali ini yang disayat? Duh kepalaku lagi berat banget, tolong jangan dijambak. Dan ribuan pemikiran buruk lain. Namun, malam itu. 

Dirga hanya memelukku begitu erat. Mengelus puncak kepalaku, dan sama sama terlelap. Damai sekali, aku tersenyum.


(22/05/19)

"Halo Mentari, maaf ya nunggu lama."

"Lhoh Marshall, kok kamu yang dateng Sal."

"Lah, Anitanya kan lagi ke Bandung. Kamu gak dikasih tau? Nenek lagi kangen Nita. Jadi ya dia ke Bandung. Gapapa kan ini berdua doang, santuy lah bahas konsep doang."

"Duh, kalo cowok gua liat, mampus.", Ucap Mentari lirih.

"Hah, gimana Tar?"

"Em enggak kok, kamu pesen dulu gih."


Dihari yang sama, pukul 16.00

"Itu yang dibilang ketemu Anita. Malah nongkrong sama cowok. Haha, klasik banget sih Tar."

"Dir, aku bisa jelasin. Ini nggak kayak yang kamu pikirin, aww sakit Dir. Ampuuun dirr...

"Rasain kamu, kamu udah tau kan apa konsekuensinya kalo kamu nyeleweng?"

"Sumpah aku engga...

Ddukkk...

Suara hantaman itu berulang ulang, tubuhku rasanya sudah tidak karuan. Kurasa kali ini Dirga benar-benar kalap. Tubuhku terseok dilantai, dengan kaki Dirga yang terus menghantam. Punggungku sakit, kepalaku kebas. Sudut bibirku terkatuk meja. Mungkin besok akan sedikit biru dan bengkak.

"Dir,, cukup. Dir aku minta maaf. Badan aku sakit dirr aku mohon."

Mungkin ini terdengar lemah, tapi kalo tidak begitu mungkin besok aku ditemukan terbujur kaku. 

"Dirga, aku janji. Aku akan sama kamu terus. Gak akan aku nyeleweng lagi, dir pliss"

Dirga diam, seperti biasa. Hanya gerak lengan dan tungkai yang terdengar bagai nada. Mengalun gaduh pada soraiku. Sorai mengaduh, mengampun pada Dirga. Lihat, Dirga seperti yang maha kuasa kan, di mata Mentari.


Entah suara dari mana, seperti memori terputar dalam kepala, seperti bisikan yang memekakkan telinga. (Lari Tar, ayo lari, lari Tari, kamu pasti bisa, ayo lari Tar, Ayo lari.)

Beralun, dan berulang. Suara yang sama. Aku berusaha bangun, menghalau setiap pukulan Dirga. Kutatap sorot mata Dirga, sorot itu sama saat ia bercerita Mamanya. Mata kosong dan berkaca. Kupeluk Dirga, merengkuh sisa sisa yang ku bisa. 

Namun, kurasa Gelap memang mendera. Dirga tak berhenti bahkan lebih membabi buta. Menarikku, menghempasku ke arah meja. Aku takut, dia seperti bukan Dirga. Dan ketika lengan Dirga mengayun untuk kesekian kalinya. Dengan reflek aku mencari berbagai benda yang bisa ku halau, tapii


Jlebb....


Terlambat.



( 7/10/19)

Semua putih, semua hening, semua terlampau terang. Tidak ada semerbak kopi lagi. Tidak ada pelukan hangat lagi. Tidak ada rengkuhan diri. Tidak ada, Dirga lagi.


Hanya tersisa, gadis bernama Mentari dengan sorot mata kosong, bibir pucat. Gaun putihnya, terkoyak sana sini. Rutinitas pagi, terbangun karena sorai memenuhi kepala, suara itu,...


"Pagi mbak Tata, waktunya makan yuk. Sama minum obat. Sini suster suapin"

"..."

"Wah pinter, mbak Tata mau makan."

"..."

"Habis ini kita mau jalan-jalan. Mbak Tata mau?"

Gadis itu menengok, tatapannya sendu. Senyumnya pudar. Punggung dan tangannya kurus. Rambut hitam legam yang kusut karena terlalu sering ditarik. 

"Mau ke Dirga, boleh?"

Suster itu hanya tersenyum. Tari pun tersenyum.


Ketika sampai di ruang tunggu, senyum tari memudar.

Ini bukan Dirga. Pria itu, bukan Dirga.

"Dia, bukan Dirga!" Ujar Tari.

Berulang, beribu kali Tari jelaskan kalo pria yang dihadapannya ini bukan Dirga. Tapi setiap orang di sini memanggil pria itu Dirga. Heyy, Mentari bukan buta. Dia hanya, Gila.


"Dirga, Dirgaaaaa, Dirgaaaa. Kamu dimana. Dirga kamu dulu selalu bilang kalo aku gak boleh ninggalin kamu. Tapi kamu yang pergiiii", Jeritnya.


" Dirga, maafin aku. Aku.. aku gak sengaja."


____________________End_____________________




'Dirga, tunggu aku ya. Aku akan membumi bersamamu juga' -Mentari

Komentar