Pojok Kamarku

 

Menilik sebuah foto tua dalam bingkai karton pelangi dikamarku

Terdiri dari ibu, aku, mamas, dan bapak.

Senyum merekah, dibarengi busana biasa dan mata berbinar malu – malu khasku, saling merangkul sat-satu. Seolah tak ada ragu,  hanya pancaran hangat dalam lakonan macam keluarga cemara,

 --namun setiap penggambaran hanyalah metafora. Yang sengaja dilebihkan supaya tampak ada padahal nyatanya berbeda.

Jika kuhitung tahun paling menyakitkan dalam hidupku, mungkin lagu ‘Congratulation’ milik Day 6 tak cukup untuk melukiskan bagaimana kesakitannya hatiku.

Karena pada nyatanya torehan luka itu bukan dari kekasihku yang pergi untuk memilih pujaannya yang lain. Namun dari bapak, yang meninggalkan anak gadisnya. Bapak yang meninggalkan ibu, bapak yang meninggalkan kami.

 

Ibu mendekat dengan segelas susu, berdiri berjajar disampingku untuk turut melihat potret masa lalu, disebut masa lalu karena sudah terlewati. Walaupun prosesnya seperti membangun jalan yang membentang dari ‘Anyer’ hingga ‘Panarukan’. Menyakitkan dan banyak korban.

 

“Bando merah yang dipake adek, sekarang dimana ya dek?”

“Adek jual di rongsokan.”

Ibu memandangku sekilas dengan kernyitan. Seolah bertanya ‘kenapa’

“Kata bapak, adek cantik pakai bando merah itu.”

Ibu masih memandangku untuk kedua kalinya.

“Waktu bapak pergi ninggalin kita, adek kangen. Dan lihat bando merah itu jadi makin kangen. Padahal pada saat itu harusnya adek benci bapak kan buk?”

‘Adek benci bapak’ bahkan hingga waktu terlewat begitu banyak, hatiku masih terhenyak. Di akhir kalimat itu harus ku beri tanda seru atau tanda tanya.

 Ibu tersenyum, seolah tau kesakitan anak bungsunya ini.

“Kalau adek sayang kenapa harus benci bapak?”

Satu kalimat itu membuatku kembali terhenyak,

“Dek, setiap pengkhianatan memang selalu menyakitkan. Tapi setiap kesalahan ada jalan untuk memaafkan. Bagaimanapun juga, bapak adalah bapaknya adek. “

Ibu diam, dan aku seolah malas menanggapi. Masih ada yang berkecamuk dalam dada,

“Adek inget nggak, siapa yang selalu beliin adek es krim tiga rasa di box besar yang selalu ibu larang karena terlalu boros. Siapa yang setiap malem selalu pulang bawa nasi goreng spesial pake telur puyuh tiga. Siapa yang selalu menyempatkan datang waktu adek lomba siaga?”

Lagi-lagi aku diam, membisu. Kenangan yang disebutkan ibu seolah terputar dalam kepala, tawa bahagia, panggilan sayang yang renyah khas bapak, gurat letih bapak disaat pulang lembur dari luar kota.

“Ibu benar, ternyata cinta pertama adek tetaplah bapak. Mau mengelak sebagaimanapun, nyatanya adek tetap sayang bapak.”

Ibu tersenyum, menyerahkan segelas susu yang sekarang sudah dingin. Rasanya pas kalau susu ini dingin. Pas untuk membasahi hatiku yang sedang panas – panasnya.

“Adek bangga punya bapak yang maha perhatian dan penyayang, tapi adek nggak mau punya pasangan seperti bapak.”

Pada akhir kalimat itu akhirnya aku yakin untuk tidak memakai tanda tanya, atau tanda perintah. Karena untuk mengakhiri obrolan singkat di pojok kamarku ini harus menggunakan tanda titik yang berarti henti. Sepertinya aku harus sudah ikhlas. Tapi lagi-lagi sebuah ikhlas dariku hanya metafora. 

 

 

 

Dibuat dengan hati, diharap bacanya hati-hati hehe.

Komentar

Posting Komentar